Seiring berjalannya waktu aku mulai tumbuh menjadi seorang
yang sederhana. Tanpa suatu kelebihan yang terlalu mencolok. Masa
kecilku
berlalu dengan indah, banyak kenangan yang terukir dipikiranku, tanpa
bisa aku
jelaskan dengan kata-kata atau aku torehkan dengan tulisan-tulisan.
Tentang
diriku, tentang pribadiku biarlah mereka yang menilaiku, aku hanya
menjadi
diriku yang utuh, diriku yang sepenuhnya, apa adanya aku bukan ada
apanya
didiriku.
Tak selamanya takdir menggariskan kehidupan yang indah, hari
itu kelabu bagiku, hari itu aku pikir hari terakhir adanya kebahagiaan
dihidupku. Entah apa yang harus aku katakan kali ini, kelam menyelimuti
jiwaku.
17 Agustus 2009 tepat dihari itu aku harus merelakan ibuku, hembusan
nafas
terakhirnya menandakan kalau dia harus pergi dariku, harus
meninggalkanku, ayah
dan kakakku didunia ini. Lalu apa yang harus aku lakukan ? apa yang aku
perbuat
nantinya tanpamu ? banyak pertanyaan yang mengelilingi otakku, tanpa ada
jawabnya, aku hanya bisa menangis, ya apa lagi yang bisa ku lakukan,
“hei aku
hanya remaja berusia 13 tahun”
Keluhan demi keluhan saja yang selalu aku
ucapkan, tanpa pernah berfikir apa hikmah dibalik kejadian pahit ini.
Dengan
kenyataan pahit yang dikadokan untukku, semestinya aku semakin tegar,
semestinya aku rela dan ikhlas melepas ketidak setujuanku kepada catatan
takdir. Dan seharusnya aku benar-benar membuka mata, kalau ini bukan
mimpi tapi
realita hidup. Sadar ataupun tidak aku bukan anak yang dilahirkan
terbalut
sutra, tak boleh aku iri dengan mereka yang mempunyai segalanya, banyak
dari
anak yang menginginkan beberapa keberuntunganku, banyak yang harus aku
syukuri
dari semua hidup yang telah aku jalani. Tak mudah untuk bangkit dari
keterpurukan, tak mudah menjadi aku dihari ini, tapi aku sadar ibuku
masih
menitipkan ayah dan kakakku padaku, ibu ingin melihat dari surga sana
kebersamaan kami, aku yakin beliau ikut tersenyum melihat kami disini.
Dengan
mengemban tanggung jawab ini aku mulai bangkit perlahan tapi pasti,
burung
pipit pun tahu dia harus tetap hidup, walaupun hanya mematuki sisa padi
dilumbung sang petani. Mau tak mau, hidup ini ada untuk dihidupkan.
Karena aku
hidup bernafas maka akan ku hidupkan nafasku. Tak ku pungkiri terbesit
disetiap
malam rindu-rindu yang menggelitik hatiku, kerinduan pada sesosok ibu,
hangat
peluknya akan tetap terkenang. Pernah aku tulis rasa rindu disecarik
kertas,
aku hanyutkan diderasnya hujan.
Teruntukmu ibuku,
Aku rangkai semua rinduku..
Melukis kenangan kita dilangit..
Mengukir angan kita setinggi bukit..
Raga mu kini telah tiada, tapi tidak dengan jiwamu.
Dengan kasihmu, tetap kau lantunkan do’a untukku.
Tak pernah terpikirkan akan seperti ini,
Tapi aku harus setegar karang, tetap kokoh meski diterjang
ombak tak henti.
Sebait do’a disetiap malam sunyi akan aku hantarkan,
Suatu saat nanti ada masanya kita akan saling berpelukan,
Melepas semua kerinduan, bersama dan takkan terpisah lagi,
Yaa suatu hari nanti.
Kini aku bukan anak kecil lagi, aku remaja yang beranjak
dewasa, aku harus mengerti segalanya. Untuk kalian yang bernasib sama,
jangan
pernah kalian sesali, bangkit dan buktikan pada dunia bahwa kalian bisa.
Ini
hidupku, dan inilah aku, akan ku jadikan senyum orang tuaku atas
kebanggaanku,
akan ku jadikan diriku tokoh utama dinaskah yang telah tertulis. Aku
ingin
seperti matahari, yang selalu bersinar setiap hari. Aku ingin seperti
bulan,
bersinar digelap malam. Aku akan menjadi diriku, bukan diriku yang
sempurna,
tapi diriku yang bisa memberikan pahatan kesan istimewa pada setiap
insan yang
mengingatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar